Tiba-tiba badai datang. Angin besar menerjang mereka. Hembusannya membuat tubuh
dua pengembara itu limbung. Pasir betebaran di sekeliling mereka. Mereka saling
menjaga dengan tangan berpegangan erat. Mereka mencoba melawan ganasnya badai pasir...
Ketika badai reda, musibah lain menimpa mereka. Kantong bekal air minum mereka terjatuh saat badai tadi. Isinya tumpah berceceran. Entah gundukan pasir mana yang meneguknya…
Ketika badai reda, musibah lain menimpa mereka. Kantong bekal air minum mereka terjatuh saat badai tadi. Isinya tumpah berceceran. Entah gundukan pasir mana yang meneguknya…
Kedua pengembara itu duduk
tercenung, menyesali kehilangan air itu.
"Ah… tamatlah riwayat kita," kata pengembara pertama.
Lalu ia menulis di pasir dengan ujung jarinya. "Kami sedih. Kami kehilangan bekal minuman kami di tempat ini."
Kawannya, si pengembara dua pun tampak bingung. Namun, mencoba tabah. Setelah membereskan perlengkapannya mereka berdua kembali melanjutkan perjalanan.
"Ah… tamatlah riwayat kita," kata pengembara pertama.
Lalu ia menulis di pasir dengan ujung jarinya. "Kami sedih. Kami kehilangan bekal minuman kami di tempat ini."
Kawannya, si pengembara dua pun tampak bingung. Namun, mencoba tabah. Setelah membereskan perlengkapannya mereka berdua kembali melanjutkan perjalanan.
Setelah lama menyusuri padang
pasir, mereka melihat ada oase di kejauhan. "Kita selamat," seru
salah seorang di antara mereka. "Lihat, ada air di sana." Dengan sisa
tenaga yang ada, mereka berlari ke oase itu. Untung, bukan fatamorgana.
Benar-benar sebuah kolam. Meski kecil tapi airnya cukup banyak. Keduanya pun
segera minum sepuas-puasnya dan mengisi kantong air. Sambil beristirahat,
pengembara pertama mengeluarkan pisau genggamnya dan memahat di atas sebuah
batu. "Kami bahagia. Kami dapat melanjutkan perjalanan karena menemukan
tempat ini.”
Pengembara kedua heran.
"Mengapa kini engkau menulis di atas batu, sementara tadi kau menulis di
pasir?"
Yang ditanya tersenyum. "Saat
kita mendapat kesusahan, tulislah semua itu di pasir. Biarkan angin keikhlasan
membawanya jauh dari ingatan. Biarkan catatan itu hilang bersama menyebarnya
pasir ketulusan. Biarkan semuanya lenyap dan pupus," jawabnya dengan
bahasa cukup puitis. "Namun, ingatlah saat kita mendapat kebahagiaan.
Pahatlah kemuliaan itu di batu agar tetap terkenang dan membuat kita bahagia.
Torehlah kenangan kesenangan itu di kerasnya batu agar tak ada yang dapat
menghapusnya. Biarkan catatan kebahagiaan itu tetap ada. Biarkan semuanya
tersimpan."
Keduanya bersitatap dalam senyum
mengembang. Bekal air minum telah didapat, istirahat pun telah cukup, kini
saatnya untuk melanjutkan perjalanan.
Kedua pengembara itu melangkah
dengan ringan seringan angin yang bertiup mengiringi.
Sobat, kesedihan dan kebahagiaan
selalu hadir berselang-seling mewarnai perjalanan hidup ini. Keduanya
mengguratkan memori di hamparan pikiran dan hati kita. Namun, adakah kita
bersikap seperti pengembara tadi, yang mampu menuliskan setiap kesedihan di
pasir agar angin keikhlasan membawanya pergi? Adakah kita ini sosok tegar yang
mampu melepaskan setiap kesusahan bersama terbangnya angin ketulusan?
Sobat, cobalah untuk selalu
mengingat setiap kebaikan dan kebahagiaan yang kita miliki. Simpanlah semua itu
di dalam kekokohan hati kita agar tak ada yang mampu menghapusnya. Torehkan
kenangan bahagia itu agar tak ada angin kesedihan yang mampu melenyapkannya.
Insya Allah, dengan begitu kita
akan selalu optimistis dalam mengarungi perjalanan hidup ini.
Salam sukses sehat semangat yaa Sobat...
#ditulis kembali dari kisah hikmah